CPDS

Inovasi Pelayanan Keluarga Berencana Komprehensif sebagai Pilar Strategis Pengendalian Fertilitas Menuju Penduduk Tumbuh Seimbang

Penurunan angka kelahiran dan perubahan struktur umur penduduk kini menjadi isu strategis yang menentukan arah pembangunan jangka panjang suatu negara. Dinamika kependudukan tidak lagi semata berbicara tentang jumlah penduduk, tetapi juga tentang keberlanjutan tenaga kerja, beban sosial, serta kualitas sumber daya manusia. Pengalaman negara maju seperti Jepang menunjukkan bahwa kegagalan menjaga keseimbangan fertilitas dapat berujung pada depopulasi, kekurangan tenaga kerja, dan tekanan fiskal yang besar. Kondisi ini menegaskan bahwa pengendalian fertilitas bukan sekadar agenda kesehatan, melainkan pilar penting dalam perencanaan pembangunan nasional. Indonesia berada dalam lintasan transisi demografi yang krusial. Dengan jumlah penduduk yang masih besar, Indonesia diproyeksikan mencapai puncak populasi sekitar tahun 2059 sebelum kemudian mengalami penurunan secara bertahap. Sejak dekade 1970-an, Indonesia mencatat keberhasilan signifikan dalam menurunkan Total Fertility Rate (TFR) dari 5,6 anak per perempuan menjadi sekitar 2,3–2,4 pada awal 2000-an. Namun, setelah periode tersebut, laju penurunan fertilitas mengalami perlambatan atau fertility stalling di kisaran 2,5. Kondisi ini menimbulkan tantangan baru, karena stabilitas demografi hanya dapat dicapai jika TFR berada pada angka ideal 2,1 anak per perempuan atau replacement level fertility.

Perubahan konteks demografi tersebut mendorong perlunya pendekatan baru dalam program Keluarga Berencana (KB). Program KB tidak lagi dapat diposisikan sebagai intervensi tunggal yang berfokus pada penggunaan kontrasepsi, melainkan harus dikembangkan sebagai pelayanan publik yang komprehensif, adaptif, dan terintegrasi dengan berbagai sektor pembangunan. Pendekatan ini menjadi semakin relevan ketika Indonesia dihadapkan pada tantangan ganda, yakni mencegah ledakan penduduk di satu sisi, sekaligus menghindari penurunan fertilitas yang terlalu tajam di sisi lain. Dalam perspektif kebijakan kependudukan, TFR merupakan indikator kunci yang mencerminkan perilaku reproduksi masyarakat. Penurunan fertilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat pendidikan, partisipasi perempuan di dunia kerja, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, serta kondisi sosial ekonomi keluarga. Semakin baik kualitas pendidikan dan kesejahteraan, semakin rasional pula keputusan keluarga dalam merencanakan jumlah anak. Oleh karena itu, pencapaian TFR ideal tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan negara dalam membangun sistem pelayanan publik yang mendukung pilihan reproduksi yang sehat dan bertanggung jawab.

Capaian Indonesia berdasarkan Long Form Sensus Penduduk 2020 (LF-SP2020) menunjukkan TFR sebesar 2,18 anak per perempuan. Angka ini mendekati standar replacement level fertility dan menjadi indikator penting menuju terwujudnya Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS). Capaian tersebut mencerminkan keberhasilan inovasi pelayanan KB yang dirancang secara lebih komprehensif dan strategis oleh BKKBN, dengan menempatkan keluarga sebagai pusat intervensi kebijakan. Inovasi pelayanan KB tersebut diwujudkan melalui perluasan akses layanan yang lebih merata dan berkualitas. Penyediaan fasilitas kesehatan reproduksi yang ramah, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, serta kemudahan akses kontrasepsi menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan pengendalian fertilitas. Layanan KB tidak lagi bersifat administratif, tetapi diarahkan pada pemenuhan hak reproduksi dan kebutuhan nyata keluarga sesuai dengan konteks sosialnya.

Selain itu, keberhasilan pengendalian fertilitas juga ditopang oleh kolaborasi lintas sektor yang kuat. Kebijakan kependudukan tidak dapat dijalankan secara sektoral, melainkan membutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga pendidikan, sektor swasta, serta tokoh masyarakat. Pendekatan kolaboratif ini memperluas jangkauan program KB sekaligus memperkuat legitimasi sosialnya di tengah masyarakat. Aspek edukasi dan penyuluhan kependudukan menjadi elemen penting lainnya. Kampanye mengenai kesehatan reproduksi, perencanaan kehidupan berkeluarga, serta pengasuhan anak yang berkualitas berperan dalam membentuk kesadaran masyarakat untuk mengambil keputusan reproduksi yang rasional. Edukasi ini tidak hanya ditujukan kepada perempuan, tetapi juga melibatkan laki-laki sebagai bagian dari tanggung jawab bersama dalam keluarga.

Lebih jauh, inovasi pelayanan KB juga terintegrasi dengan upaya pemberdayaan keluarga dan perempuan. Peningkatan akses pendidikan, penguatan ketahanan ekonomi keluarga, serta perlindungan sosial berkontribusi langsung terhadap penurunan fertilitas yang berkelanjutan. Ketika keluarga memiliki rasa aman secara ekonomi dan sosial, keputusan memiliki jumlah anak yang ideal menjadi lebih mungkin terwujud. Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Ketimpangan akses layanan antarwilayah, perbedaan kapasitas pemerintah daerah, serta dinamika sosial budaya masih berpotensi memengaruhi keberlanjutan capaian fertilitas. Oleh karena itu, inovasi pelayanan KB perlu terus dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat agar tidak kehilangan relevansi.

Pada akhirnya, pengendalian fertilitas menuju Penduduk Tumbuh Seimbang bukan semata persoalan angka, melainkan tentang kualitas kebijakan dan keberpihakan negara terhadap keluarga. Capaian TFR 2,18 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada jalur yang tepat, namun keberlanjutan hasil ini hanya dapat dijaga melalui penguatan pelayanan KB yang komprehensif, inklusif, dan berorientasi jangka panjang. Dengan tata kelola yang baik, kolaborasi lintas sektor, dan partisipasi aktif masyarakat, inovasi pelayanan KB dapat menjadi fondasi kuat dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.

Referensi
1. Kementrian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Kesehatan. 2017. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. BKKBN: Jakarta.
2. Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Estimasi Parameter Demografi: Tren Fertilitas, Mortalitas, dan Migrasi Hasil Sensus Penduduk 2010. BPS: Jakarta.
3. I. B. Mantra, Demografi Umum, 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2000.
4. DEKOMPOSISI FERTILITAS INDONESIA: ANALISIS BERDASARKAN HASIL SDKI 2017 ( Kajian Kementrian Kemendukbangga ), Omas Bulan Samosir
5. Analisis kebijakan kependudukan dalam rangka mengurangi disparitas TFR di Indonesia, Kemendukbangga / BKKBN dan Badan Riset Nasional 2024
6. Biro Pusat Statistik. 1992. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1991. BPS: Jakarta.

Penulis: Nabila Ayunda Sovia, S.Mat., M.Stat. (Peneliti CPDS Indonesia)