CPDS

Deforestasi Hutan Sumatera : Kegagalan pemerintah dalam tata kelola lingkungan di Sumatera

Hilangnya hutan di Sumatera bukanlah semata-mata menghilang karena bencana ekologis. Bencana tersebut merupakan akumulasi dari kebijakan pemerintah, praktik birokrasi, serta lemahnya akuntabilitas negara dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Selama satu dekade (1994-2024), berdasarkan Analisis Tim Jurnalisme Data Kompas mengungkap, hilangnya hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat rata-rata 36.305 hektar per tahun. Jika dikonversikan per hari, ditemukan angka sekitar 99,46 hektar hilang per hari. Angka ini setara dengan hilangnya 139 lapangan sepak bola per hari. Adapun ukuran lapangan sepak bola seluas 7.140 meter persegi menurut standar FIFA. Secara agregat, kehilangan hutan dalam 34 tahun seluas 1,2 juta hektar setara dengan luas dua kali Pulau Bali. Tahun 1990, data dari laman pemetaan MapBiomas Indonesia menunjukkan, masih ada 9,49 juta hektar hutan. Tahun 2024 berkurang menjadi 8,26 juta hektar. Penyusutan area hutan tertinggi terjadi di Sumut, yakni 500.404 hektar. Adapun penyusutan hutan di Aceh 379.309 hektar dan Sumbar 354.651 hektar. Pulau Sumatera menjadi pusat deforestasi hutan akibat ekspansi lahan sawit, kawasan tambang, dan hutan tanaman industri.

Banjir dan tanah longsor menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada akhir November 2025. Bencana ini tidak hanya dipicu oleh fenomena Siklon Senyar yang menyebabkan hujan sangat lebat dan tidak biasa, tetapi oleh ulah manusia. Banjir dan longsor yang membawa kayu gelondongan tersebut bukan berasal dari awan, melainkan akibat hutan yang ditebangi secara masif oleh manusia. Ini adalah akibat paling nyata dari deforestasi hutan. Bencana ini juga menunjukkan bahwa tata kelola lingkungan yang buruk dan keputusan politik yang hanya mementingkan urusan sekelompok orang sehingga merugikan masyarakat apalagi di saat krisis iklim melanda Indonesia. Chester Hartman dan Gregory D Squires dalam There is no such things as a natural disaster (2006) menyebutkan “Bencana Alam merupakan konstruksi sosial dan politik”. Ancaman bencana alam seperti badai, gempa bumi, maupun tsunami menjadi bencana hanya jika masyarakat tidak dilindungi. Ribuan jiwa meninggal dan ratusan orang hilang bukan hanya akibat cuaca, melainkan keputusan politik dan tata kelola lingkungan yang menempatkan warga dalam status bahaya.

Dalam kerangka tata kelola pemerintahan, reformasi birokrasi seharusnya menghasilkan birokrasi yang profesional, transparan, dan bertanggung jawab terhadap kepentingan publik, termasuk perlindungan lingkungan hidup. Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan antara reformasi dan praktik birokrasi. Negara hadir melalui regulasi dan institusi, tetapi kurang dalam pengawasan dan pertanggungjawaban ketika hutan terus berkurang kapasitasnya. Reformasi birokrasi di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kinerja aparatur negara melalui pembenahan kelembagaan, penyederhanaan prosedur, dan penguatan akuntabilitas. Di sektor kehutanan, reformasi ini diharapkan dapat memperbaiki sistem perizinan, menekan praktik korupsi sumber daya alam, serta mengurangi konflik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya, reformasi birokrasi sering kali berhenti pada perubahan yang administratif dan simbolis, seperti penyusunan standar operasional prosedur, digitalisasi layanan, dan pelaporan kinerja. Perubahan tersebut belum diikuti oleh langkah nyata yang benar-benar melindungi hutan dan menjaga keberlanjutan ekosistem. Padahal, kebijakan publik seharusnya dirancang untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih adil, aman, dan sejahtera. Dalam pandangan administrasi publik, kebijakan bukan sekadar alat birokrasi atau formalitas program reformasi, melainkan sarana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Nugroho, 2023).

Kegagalan kebijakan lingkungan di Sumatra menunjukkan lemahnya nilai etika dalam praktik administrasi publik. Banyak keputusan diambil dengan mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek atau kepentingan korporasi besar, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Dalam berbagai kasus, pemerintah daerah dan aparatur sipil negara yang memiliki kewenangan justru memperparah kondisi tersebut karena lemahnya pengawasan, adanya konflik kepentingan, serta potensi korupsi dalam proses pengambilan keputusan (Nugroho, 2023). Ketika izin pembukaan hutan diberikan tanpa kajian risiko yang memadai, pemerintah pada dasarnya telah melalaikan tanggung jawab moral untuk melindungi warganya.

Sebagian besar deforestasi di Indonesia terjadi karena tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum yang lemah. Bahkan, kawasan hutan yang seharusnya dilindungi oleh negara pun mengalami pembalakan dan pembukaan hutan secara ilegal tanpa tindakan tegas dari pemerintah, sehingga kerusakan hutan terus berlanjut. Ketika masyarakat sipil mengkritik kondisi ini, pemerintah justru cenderung melemahkan aturan terkait penggunaan lahan, bukan menegakkan aturan yang sudah ada. Akibatnya, perusahaan dan pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik tetap tidak tersentuh hukum dan terus melakukan praktik yang merusak lingkungan, meskipun bertentangan dengan peraturan.

Dengan ketidaktegasan pemerintah dalam mengambil kebijakan, lemahnya pengawasan dan akuntabilitas kinerja, deforestasi hutan di Sumatera mencerminkan kegagalan tata kelola pemerintahan dibidang lingkungan. Persoalan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pendekatan teknis atau sektoral, melainkan melalui kajian ulang reformasi birokrasi sebagai upaya membangun birokrasi yang bertanggung jawab secara ekologis. Akuntabilitas kinerja perlu diperluas hingga mencakup dampak kebijakan terhadap lingkungan hidup agar negara benar-benar menjalankan amanah konstitusionalnya dalam mengelola sumber daya alam demi memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat.

Referensi
1. https://www.kompas.id/artikel/hutan-sumatera-lenyap
2. https://items.ssrc.org/understanding-katrina/theres-no-such-thing-as-a-natural-disaster/
3. https://ejournal.seaninstitute.or.id/index.php/esaprom/article/view/2248/1947
4. https://eyesontheforest.or.id/backgrounders/lack-of-governance?utm
5. https://www.instagram.com/p/DR6vLXeE27y/?img_index=2&igsh=dXpsN3Z6ODZ2d3ox
6. https://www.kompasiana.com/vaneshasriwedhari0860/69372808ed6415374052f0c3/kegagalan-etika-kebijakan-krisis-deforestasi-di-pulau-sumatera
7. Nugroho, R. (2023). Public Policy 7: Dinamika kebijakan publik, analisis kebijakan publik, manajemen politik kebijakan publik, etika kebijakan politik. Elex Media Komputindo.

Penulis: Maulidya Maghfiro, S.Si., M.Stat. (Peneliti CPDS Indonesia)