Transformasi Keamanan dan Ketertiban Umum di Era Digital: Peran Teknologi dalam Mewujudkan Public Safety yang Adaptif
Keamanan dan ketertiban umum merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menentukan kualitas hidup, stabilitas sosial, dan keberlanjutan pembangunan. Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi digital telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara pemerintah dan aparat keamanan menjaga ketertiban publik. Jika pada masa lalu upaya menjaga keamanan cenderung bersifat reaktif yaitu aparat bergerak setelah kejadian terjadi maka perkembangan teknologi mendorong perubahan paradigma ke arah sistem yang lebih adaptif, prediktif, dan terintegrasi. Dengan kata lain, keamanan di era digital menuntut kemampuan aparat dan pemerintah untuk memahami ancaman secara lebih cepat dan mengambil tindakan berdasarkan data serta informasi yang real-time.
Indonesia tidak terpisah dari dinamika tersebut. Laju digitalisasi yang pesat, penggunaan smartphone yang hampir merata, serta meningkatnya interaksi masyarakat di ruang digital memberikan peluang tetapi sekaligus menghadirkan tantangan baru. Keamanan publik kini bersifat dua dimensi: fisik dan digital. Di satu sisi, ancaman konvensional seperti pencurian kendaraan, tindak kekerasan, dan gangguan ketertiban umum masih terjadi. Di sisi lain, berbagai bentuk kejahatan siber mulai mendominasi, seperti penipuan online, pembobolan data, pencurian identitas, hingga penyebaran hoaks yang mampu memicu konflik sosial. Data menurut Patroi siber tahun 2025 mencatat kenaikan signifikan pada laporan kejahatan siber, terutama penipuan digital yang berhubungan dengan transaksi online. Fenomena ini menunjukkan bahwa keamanan tidak lagi hanya ditempatkan di jalanan atau ruang publik, tetapi juga dalam perangkat yang digunakan setiap hari.

Sumber: https://patrolisiber.id/statistic/
Perubahan inilah yang mendorong munculnya inovasi teknologi di sektor keamanan publik. Banyak kota di Indonesia mulai mengembangkan konsep smart city yang salah satu komponennya adalah smart surveillance. Kota Surabaya dan Bandung, misalnya, telah membangun pusat kendali (command center) yang terhubung dengan ribuan titik CCTV di berbagai ruang publik. Teknologi ini bukan hanya merekam, tetapi juga menganalisis aktivitas tertentu menggunakan kecerdasan buatan (AI). Kamera dapat mendeteksi adanya kerumunan besar, perilaku mencurigakan, hingga pelanggaran lalu lintas secara otomatis. Menurut penelitian(Susilo dkk., 2024), penerapan CCTV pintar dapat menurunkan angka kriminalitas di area publik karena deteksi dini mencegah kejadian berkembang lebih jauh. Aparat pun dapat merespons lebih cepat karena informasi dari CCTV langsung terhubung dengan pusat kontrol.
Selain sistem pengawasan, big data analytics menjadi alat penting dalam pendekatan keamanan publik modern. Setiap laporan yang masuk dari masyarakat, setiap titik kriminalitas yang tercatat, hingga pola mobilitas warga dianalisis secara digital untuk memetakan area rawan. Pendekatan ini memungkinkan aparat kepolisian tidak lagi bekerja berdasarkan intuisi semata, tetapi berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan analisis data dapat meningkatkan efisiensi patroli kepolisian serta mengurangi angka kejahatan di wilayah tertentu karena penempatan personel menjadi lebih tepat sasaran. Konsep predictive policing seperti ini tidak hanya meningkatkan efektivitas penanganan tetapi juga mendorong penggunaan sumber daya yang lebih efisien.
Teknologi juga mempermudah komunikasi antara masyarakat dengan aparat keamanan. Beragam aplikasi pelaporan digital telah dikembangkan baik di tingkat lokal maupun nasional, seperti aplikasi Jogo Suroboyo, serta panic button yang digunakan di beberapa kota. Melalui aplikasi ini, warga dapat melaporkan kejadian secara cepat dengan menyertakan foto, lokasi, dan deskripsi singkat. Model seperti ini memperpendek rantai komunikasi sehingga waktu tanggap aparat menjadi lebih singkat. Hal ini menunjukkan bahwa fitur pelaporan digital meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga keamanan, terutama di daerah perkotaan dengan tingkat mobilitas tinggi. Warga tidak lagi harus datang ke kantor polisi atau menelpon hotline; cukup dengan satu klik di smartphone, laporan dapat diterima aparat.
Selain itu, perkembangan Internet of Things (IoT) memberikan dukungan signifikan terhadap keselamatan publik, khususnya di bidang kebencanaan. Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana seperti gempa, banjir, dan tanah longsor. Karena itu, penerapan sensor digital untuk memantau kondisi alam menjadi sangat penting. Sensor banjir, misalnya, dapat mendeteksi kenaikan permukaan air dan mengirimkan peringatan dini. Sensor kualitas udara digunakan untuk memantau polusi dan potensi kebakaran lahan. Rizki Misbah Hidayat, (2024) menemukan bahwa penggunaan sistem peringatan dini berbasis IoT dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan mempercepat respons ketika terjadi ancaman bencana. Sistem seperti ini membantu pemerintah mengurangi korban jiwa serta kerugian material.
Namun, penggunaan teknologi dalam keamanan publik tidak lepas dari risiko dan tantangan. Salah satu masalah terbesar adalah potensi pelanggaran privasi. Penggunaan kamera pengawas dengan teknologi pengenalan wajah menimbulkan pertanyaan etika yankni sejauh mana negara berhak memantau warganya lalu Bagaimana jika data yang dikumpulkan disalahgunakan. Tanpa aturan yang jelas, teknologi keamanan dapat berubah menjadi alat kontrol yang berlebihan. Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat beberapa kasus kebocoran data terjadi di Indonesia. Laporan terbaru Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengungkap bahwa ancaman siber BSSN 2025 semakin serius, serangan siber terhadap instansi pemerintah meningkat dari tahun ke tahun. Serangan digital kini tidak lagi sekadar mencuri data, melainkan langsung menargetkan kerugian finansial dan reputasi bisnis. Mulai dari ransomware 2025 yang melumpuhkan operasional bank, hingga social engineering berbasis AI yang menipu karyawan dengan modus deepfake voice, tren ini menegaskan rapuhnya ekosistem keuangan digital nasional. Jika sistem pengamanan data tidak diperkuat, maka data kamera CCTV atau laporan digital yang seharusnya melindungi masyarakat justru dapat menjadi ancaman (IT Governance Indonesia, 2025).
Selain isu privasi, kesenjangan digital menjadi tantangan lain. Teknologi keamanan canggih lebih mudah diterapkan di kota besar yang memiliki anggaran dan infrastruktur memadai. Sementara itu, banyak daerah di luar Jawa atau wilayah pedesaan yang belum memiliki jaringan internet stabil atau perangkat digital yang memadai. Akibatnya, layanan keamanan digital tidak merata dan menimbulkan ketimpangan dalam akses keamanan publik. Tantangan ini harus diperhatikan karena keamanan merupakan hak semua warga, bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar. Masalah lainnya adalah kapasitas sumber daya manusia. Aparat dan pemerintah daerah perlu memiliki keterampilan digital untuk mengelola teknologi baru ini. Tanpa pelatihan yang memadai, teknologi canggih tidak akan digunakan secara optimal. Banyak daerah menyatakan bahwa sistem keamanan digital telah dibeli tetapi tidak dimanfaatkan karena kurangnya pelatihan teknis. Hal ini sejalan dengan temuan BSSN yang menyebutkan bahwa kelemahan utama dalam sistem keamanan digital adalah faktor SDM, bukan sekadar teknologi.
Melihat peluang dan tantangan tersebut, langkah-langkah strategis perlu dilakukan untuk memastikan bahwa teknologi benar-benar membantu meningkatkan keamanan publik.Ppemerintah harus membangun tata kelola data yang transparan dan akuntabel. Regulasi perlindungan data pribadi harus ditegakkan agar penggunaan teknologi tidak menimbulkan penyalahgunaan. Kolaborasi antarinstansi perlu diperkuat. Sistem keamanan digital idealnya menghubungkan Polri, pemerintah daerah, Kominfo, BPBD, dan BSSN dalam satu jaringan informasi yang terintegrasi, Literasi digital masyarakat harus ditingkatkan. Banyak kasus penipuan online terjadi karena rendahnya pemahaman masyarakat tentang risiko digital. Pemerintah harus memastikan pemerataan teknologi agar daerah yang jauh dari pusat kota juga dapat menikmati layanan keamanan yang setara. Terakhir evaluasi secara berkala terhadap penggunaan teknologi perlu dilakukan untuk memastikan teknologi berjalan efektif dan tidak menimbulkan masalah baru.
Pada akhirnya, transformasi keamanan di era digital bukan hanya soal membeli perangkat atau memasang kamera. Yang terpenting adalah bagaimana teknologi tersebut digunakan, dikelola, dan diawasi. Teknologi hanyalah alat; keberhasilan menjaga keamanan tetap bergantung pada kualitas kebijakan, kesiapan aparat, dan partisipasi masyarakat. Jika ketiganya berjalan beriringan, maka teknologi mampu menciptakan keamanan yang lebih adaptif, responsif, dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun, jika hanya mengandalkan teknologi tanpa tata kelola yang baik, maka transformasi digital justru dapat menambah kerentanan baru dalam sistem keamanan publik. Keamanan di era digital memerlukan keseimbangan antara efektivitas teknologi dan perlindungan hak dasar warga. Dengan pendekatan yang hati-hati dan terukur, teknologi mampu menjadi faktor penting dalam menciptakan ruang publik yang lebih aman, tertib, dan manusiawi. Transformasi ini bukan hanya tentang modernisasi sistem, tetapi juga tentang membangun kepercayaan publik bahwa negara hadir dan mampu melindungi warganya di tengah perubahan zaman.
Referensi
IT Governance Indonesia. Artikel COBIT Ancaman Siber BSSN 2025: Ransomware hingga AI Intai Sektor Finansial.
Patroli Siber. (2025). Jumlah Kejahatan Siber yang Dilaporkan oleh Masyarakat. Kepolisian Republik Indonesia.
Rizki Misbah Hidayat. (2024). Dampak Teknologi IoT terhadap Mobilitas Cerdas dalam Konteks Smart City: Tinjauan Naratif. Jupiter: Publikasi Ilmu Keteknikan Industri, Teknik Elektro dan Informatika, 3(1), 01–08. https://doi.org/10.61132/jupiter.v3i1.640 Susilo, B., Mardianto, G. D., & Aldilaga, D. (2024). Implementasi Closed Circuit Television (CCTV) Sebagai Sistem Keamanan di Lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Ilmu Pendidikan: Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 9(2), 84–90. https://doi.org/10.17977/um027v9i22024p84-90
Penulis: Reza Eka Lestari, S.AP. (Peneliti CPDS Indonesia)


